Me

Me

Kamis, 13 Januari 2011

Otonomi Daerah dengan nuansa Syariah

Otonomi Daerah dan “Perkembangan Peraturan Daerah Bernuansa Syari’ah”. Yogyakarta: Safiria Insania Press. Editor: Yusdani. Hal: xii + 392 hal.

Buku ini berasal dari disertasi penulis yang membahas tentang Perkembangan “Peraturan-peraturan Daerah Bernuansa Syari’ah” pada era otonomi daerah ini sebagai implikasi lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang menurut penulis merupakan respons pemerintah terhadap tuntutan demokratisasi pada era reformasi, dengan memberikan kebijakan desentralisasi yang lebih luas kepada daerah.
Implikasi dari kebijakan desentralisasi itu telah berdampak pada beberapa daerah di Indonesia yang berbasis Islam kuat, mulai menuntut diberlakukannya syari’at Islam secara formal untuk diimplementasikan di masing-masing daerah itu. Lahirlah kemudian beberapa peraturan daerah (Perda) yang mengatur beberapa aspek dari ajaran Islam sehingga perda-perda tersebut lazim dipersepsikan sebagai “Perda-perda Bernuansa Syari’ah”.

Ada empat model penerapan perda bernuansa syari’at: (1) jenis perda yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum (Perda anti pelacuran dan perzinaan), (2) jenis perda yang terkait dengan fashion (keharusan memakai jilbab dan jenis pakaian lainnya di tempat-tempat tertentu), (3) jenis perda yang terkait dengan “keterampilan beragama (keharusan pandai baca-tulis Al-Qur’an), dan (4) jenis perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq, dan shadaqah).

Hal yang paling penting berkaitan dengan penerapan “perda bernuansa syari’ah” pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan karena merupakan produk bersama antara eksekutif dan legislatif, tetapi dari aspek materi-muatan yang diatur di dalamnya banyak yang overlap dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat atasnya. Atas dasar itulah perlu ditinjau kembali atas beberapa produk perda dan qanun tersebut, baik melalui judicial review maupun executive review. Oleh karena itu, penerbitan buku ini diharapkan akan memberikan cakrawala pemikiran di bidang Islam dan ketatanegaraan sekaligus memberikan solusi atas pro-kontra yang selama ini berlangsung berkaitan dengan isu formalisasi pemberlakuan syari’at Islam di bumi nusantara ini.

7 Alasan asuransi memilih pendidikan

Siapkan masa depan pendidikan buah hati Anda dengan melakukan perencanaan dana pendidikan melalui asuransi dana pendidikan syariah. Mengapa asuransi pendidikan syariah ?

Berikut beberapa alasan mengapa kita harus memilih asuransi pendidikan syariah:

1. Ilustrasi asuransi syariah cukup detil dan transparan, sehingga memberikan keyakinan dan informasi yang jelas kepada calon nasabah bagaimana dana tersebut dikelola, termasuk semua biaya dan manfaat-manfaat yang akan diterimanya.

2. Dana tunai tabungan peserta sudah cukup besar di tahun pertama karena asuransi syariah hanya mengenakan biaya pengelolaan yang kecil.

3. Tidak ada biaya-biaya tambahan atau potongan dana selain yang sudah disebutkan di ilustrasi apapun kondisi peserta nantinya, misalnya putus kontrak di tahun pertama.

4. Halal. Asuransi syariah dikelola secara hati-hati dan pengelolaannya diawasi oleh dewan pengawas syariah. Tidak ada pengelolaan dalam kegiatan yang mengandung riba, judi, dan sebagainya.

5. Jika peserta ditakdirkan meninggal dunia, maka ahli waris (istri/suami dan anak) tidak hanya mendapat uang pertanggungan, melainkan juga dana tahapan masuk sekolah dan beasiswa setiap tahun sejak TK hingga perguruan tinggi.

6. Ada masa Bebas Premi. Peserta tidak perlu melanjutkan pembayaran premi, namun anak akan tetap menerima beasiswa selama di perguruan tinggi.

7. Agen asuransi syariah yang amanah dan profesional akan semaksimal mungkin memberikan pelayanan yang baik karena tidak semata-mata bekerja untuk mendapatkan keuntungan materi, namun juga bernilai ibadah.

Aset Syariah Naik 1 Trillun

Asuransi syariah kian berkibar. Dari sisi aset, kata Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), Isa Rachmatawarta, per September 2010 juga naik Rp 1 triliun dari akhir tahun lalu.

Total aset asuransi syariah pada Desember 2009 tercatat Rp 3 triliun, tapi per September 2010 asetnya telah menjadi 4 triliun atau 1,9 persen dari total aset seluruh asuransi Rp 214 triliun. “Untuk aset asuransi kerugian yang akhir tahun lalu Rp 902 miliar sekarang sudah menembus Rp 1 triliun, yaitu Rp 1,1 triliun. Sedangkan aset asuransi jiwa syariah per September sebesar Rp 2,9 triliun,” tambahnya.

Isa menambahkan pertumbuhan asuransi syariah yang cukup baik hingga kuartal III tahun ini setidaknya akan dapat berlanjut hingga tahun depan. Pertimbangan prediksi ini, katanya, menilik dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan akan tetap positif di tahun depan.

Sementara, lanjutnya, di sisi klaim asuransi syariah juga mengalami peningkatan dari akhir tahun lalu. Isa memaparkan untuk asuransi jiwa syariah hingga September tercatat klaim Rp 703,7 miliar, dan asuransi kerugian dan reasuransi Rp 286,4 miliar. Di akhir 2009 klaim asuransi jiwa syariah sebesar Rp 596,4 miliar dan asuransi kerugian Rp 236,3 miliar.

“Dari klaim ini bisa dilihat partisipasi asuransi syariah dalam memberi santunan kepada pengguna jasa asuransi mulai meningkat, kita harapkan kontribusi klaim asuransi syariah sampai akhir tahun ini bisa 2,5 persen terhadap total klaim industri asuransi nasional,” ujar Isa. Pangsa klaim asuransi syariah hingga September 2010 sebesar 2,33 persen dari total klaim Rp 42,4 triliun.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More